Dialektika Pembuktian Alasan Mendesak dalam Dispensasi Nikah dan Korelasinya terhadap Kepentingan Terbaik bagi Anak

Dialektika Pembuktian Alasan Mendesak dalam Dispensasi Nikah dan Korelasinya terhadap Kepentingan Terbaik bagi Anak

Oleh: Ahmad Rizza Habibi, S.HI.[1]

Pendahuluan

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas) perempuan melaporkan data dan temuannya terkait dispensasi pernikahan anak yang dikabulkan Pengadilan Agama sebanyak 59.709 kasus pada 2021. Angka tersebut mengalami penurunan 7,01% dari 64.211 kasus pada 2020. Meskipun menurun, angka pernikahan anak pada 2021 masih tetap tinggi. Namun, adanya penurunan dispensasi dapat menjadi awal bagi pencegahan perkawinan anak.[2] Jika dilihat trennya, sejak 2016 angka dispensasi pernikahan anak cenderung meningkat. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2020 di mana angka dispensasi anak mencapai 64.211 kasus atau naik tiga kali lipat dibandingkan 2019.[3]

Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diduga menjadi salah satu pemicu meningkatnya angka permohonan dispensasi perkawinan di seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan nomenklatur tentang batas usia minimal seseorang dapat melakukan perkawinan. UU Perkawinan tersebut merubah batas usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan dari yang semula perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, sekarang menjadi 19 tahun untuk kedua calon pasangan. Secara khusus, ketentuan ini ditegaskan dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun”.

Perubahan nomenklatur tentang batas usia perkawinan tersebut menjadi salah satu upaya yang diharapkan untuk dapat mencegah adanya perkawinan anak lagi. Akan tetapi, adanya klausa dispensasi nikah pada pasal 7 ayat (2), yang menyatakan bahwa: apabila terdapat penyimpangan terhadap ketentuan umur tersebut maka orang tua dari pihak pria maupun wanita diperkenankan untuk mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan karena alasan mendesak dan disertai bukti-bukti pendukung, seakan menjadi celah bagi beberapa orang untuk tetap dapat melegalkan pernikahan anak dengan dispensasi oleh pengadilan. Oleh karena itu, peningkatan yang signifikan terhadap permohonan dispensasi nikah terjadi pada tahun 2020 pasca munculnya perubahan terhadap UU Perkawinan.[4]

Pertimbangan hakim dalam menentukan klausa “alasan mendesak” dalam pasal 7 ayat (2) memiliki peran penting dalam sumbangsih instansi Yudikatif untuk dapat berperan serta dalam melindungi hak-hak anak dari dampak negatif dari adanya pernikahan anak. Belum adanya pengaturan ataupun batasan yang jelas mengenai klasifikasi “alasan mendesak”, menuntuk para hakim untuk dapat mempertimbangkan secara cermat segala alasan yang diajukan berikut dampak-dampak yang mungkin terjadi jika dispensasi diberikan. Hakim harus bisa memanfaatkan kemerdekaannya dalam penemuan hokum (rechtsvinding) secara baik sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang bahwa, “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”[5]

 

Hak Anak dan Kepentingan Terbaik bagi Anak

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai karakteristik yang khusus dibandingkan dengan orang dewasa. Anak dianggap belum mempunyai kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri, sehingga diperlukan peran serta Negara dan masyarakat untuk menjamin hak-hak seorang anak.[6] Untuk itu, secara yuridis, Negara telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional tentang hak-hak anak dan menuangkannya ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak (UN Convention on The Rights of The Child/UNCROC 1989) sejak tahun 1990. Secara teknis, dengan adanya ratifikasi tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa subtansi-subtansi dari konvensi tersebut dapat diaplikasikan pada peraturan-peraturan yang ada di Indonesia. Secara umum, terdapat empat prinsip utama yang dapat diambil dari konvensi tersebut, yakni prinsip non-diskriminasi (Pasal 2), prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) (Pasal 3), prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan hak untuk berkembang (Pasal 6), serta prinsip penghargaan atas pendapat anak (Pasal 12).[7]

Dari keempat prinsip tersebut, prinsip the best interest of the child merupakan prinsip terpenting yang melandasi seluruh hak-hak anak yang tercantum dalam Konvensi tersebut.[8] Prinsip tersebut tercantum secara jelas dalam Pasal 3 UNCROC yang menegaskan bahwa “dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, penguasapenguasa pemerintahan atau badan-badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak-anak harus menjadi pertimbangan utama.” Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak harus dijadikan sebagai suatu paradigma dan pertimbangan yang utama dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut seoarang anak.

Dalam konteks dispensasi kawin, kepentingan terbaik bagi anak telah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019. Dalam Perma tersebut dijelaskan bahwa kepentingan terbaik bagi anak adalah semua tindakan yang harus dipertimbangkan untuk memastikan perlindungan, pengasuhan, kesejahteraan, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Dengan adanya ketentuan ini, pengadilan sebagai penentu perkara dispensasi nikah mempunyai peran penting untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak anak terpenuhi dalam setiap putusannya. Untuk itu, hakim dalam memberikan penetapan diharapkan dapat memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Tidak hanya karena faktor-faktor mendesak yang dikemukakan dalam permohonan dispensasi nikah,[9] namun Hakim juga harus melihat secara teliti apakah anak telah siap untuk membina rumah tangga baik dari segi fisik, psikis, dan ekonomi. Selain itu, Hakim juga diharapkan dapat mempertimbangkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi pasca perkawinan apabila diperlukan. [10]

 

Klasifikasi Pembuktian Alasan Mendesak

Konsep perlindungan hak anak dalam Perma tentang dispensasi nikah ini merupakan salah satu pengejawantahan dari beberapa norma dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam konsiderannya dijelaskan bahwa penjaminan hak-hak anak ini di tunjukkan untuk mencegah adanya perkawinan pada usia anak. Hal ini dikarenakan perkawinan anak akan menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.

Oleh karena itu, perbedaan mendasar terkait dispensasi nikah dalam norma yang ada dalam Perubahan UU Perkawinan dengan UU perkawinan sebelumnya adalah pada konsep pembuktian dalam pemeriksaan dispensasi nikah. Sebelum adanya perubahan UU perkawinan, belum ada norma khusus yang menekankan pentingnya pembuktian dalam dispensai nikah. Berbeda dengan Perubahan UU perkawinan terbaru yang secara jelas memunculkan norma tentang kualifikasi pembuktian dalam perkara dispensasi nikah dalam Pasal 7 ayat 2, yang berbunyi:“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”

Pembuktian “alasan sangat mendesak” menjadi poin penting dalam pemeriksaan dispensasi nikah. Menurut Muji Hendra, alasan mendesak adalah suatu keadaan di mana hubungan pasangan calon mempelai tidak dapat ditunda lagi perkawinannya dengan alasan belum cukup batas minimal usia perkawinan, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar bagi keduanya.[11] Dengan kata lain, permohonan dispensasi hanya bisa dikabulkan apabila alasan dan bukti yang diajukan dapat menyakinkan bagi hakim bahwa alasan patut diterima. Sebaliknya, hakim akan menolak permohonan dispensasi bilamana alasan yang diajukan kurang lengkap dan bukti yang dibawakan ke persidangan tidak sempurna.

Selain itu, Hakim juga diharapkan dapat menggunakan paradigma kepentingan terbaik bagi anak apabila permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak. Pada umumnya, Hakim akan menghadapi dua kemudaratan saat menghadapi perkara dispensasi nikah, kemudaratan akibat adanya perkawinan usia dini (perkawinan anak) apabila permohonan dikabulkan dan kemudaratan yang akan terjadi jika permohonan ditolak. Disinilah peran hakim dalam rechtsvinding diperlukan untuk dapat menetapkan permohonan dispenasi nikah dengan landasan kepentingan terbaik bagi anak. Hakim bisa mempertimbangkan dampak negatif atau kemudaratan yang paling kecil dalam memutuskan dispensasi nikah tersebut agar dapat melindungi hak-hak anak. Dalam hukum Islam, kondisi tersebut masuk dalam kaidah:

إذا تعارض مفسدتان رُوعي أعظمُهما ضررًا بارتكاب أخفهما

Artinya: Apabila ada dua kerusakan berlawanan, maka haruslah dipelihara yang lebih berat mudharatnya dengan melakukan yang lebih ringan dari keduanya

Kaidah ini, menjelaskan bahwa manakala ada sesuatu perbuatan yang mengandung dua kemafsadatan atau kerusakan, maka hendaklah dipilih mana yang lebih ringan.[12] Oleh karena itu, Hakim dalam memberikan legal reasoning-nya, dituntut untuk dapat mempertimbangkan alasan-alasan yang sangat mendesak dengan bukti-bukti yang cukup guna meminimalisir kemudaratan yang terjadi apabila permohonan dispensasi tersebut dikabulkan ataupun ditolak.

Prabawati mengungkapkan bahwa terdapat beberapa alasan yang mengakibatkan hakim mengabulkan suatu perkara dispensasi kawin di bawah umur, yakni: 1) Calon mempelai wanita telah hamil; 2) Kedua calon mempelai telah memiliki hubungan yang sangat erat; 3) Telah matang secara fisiknya; 4) Mampu dari segi ekonomi.[13] Mansari dalam tulisannya menambahkan bahwa dasar pertimbangan hukum hakim lainnya dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, kedudukan hukum pemohon yang harus diajukan oleh orangtua atau walinya. Kedua, ada atau tidaknya hubungan keluarga yang mengakibatkan haramnya pernikahan antara anak yang dimohonkan dispensasi dengan calon suaminya. Ketiga, adanya pendapatan yang memadai.[14]

Untuk itu, alasan-alasan mendesak yang didalilkan dalam permohonan wajib dibuktikan oleh pemohon di persidangan. Oleh karenanya, pembuktian dalam perkara permohonan dispensasi perkawinan memiliki peranan yang sangat strategis. Selain itu, Hakim dalam melakukan pemeriksaan persidangan juga dapat mempertimbangkannya dengan menggunakan teori maslahah mursalah dan maqashid al syariah dalam dispensasi nikah. Wahbah Zuhaili[15] mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan maslahah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dengan tujuan syara’ (maqashid al syariah), tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara’ yang membenarkan atau menggugurkan, dan dengan ditetapkan hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari manusia.

Aroma Elmina Martha[16] dalam hal ini mengajukan salah satu syarat yang melekat pada kualifikasi kepentingan teori maslahah mursalah, yakni kepentingan tersebut harus bersifat duniawi yang esensial dan mendesak bukan tahsini yang hanya sebagai penyempurna. Kepentingan esensial atau dharuri ini meliputi pemeliharaan agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda. Jika dikaitkan dengan maqashidu al syariah (tujuan hukum Islam), beberapa hal yang bisa dipertimbangan dalam menjatuhkan penetapan dispensasi nikah diantaranya adalah: Pertama, legitimasi dari sisi hukum Islam dengan mempertimbangakn kemaslahatan dan kemudaratan bagi anak yang berkaitan dengan perlindungan terhadap agama (hifdzu al din). Kedua, keselamatan jiwa dan tumbuh kembang anak yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap jiwa (hifdzu al nafs). Ketiga, keamanan dari kondisi psikis dan kesiapan mental dari anak yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap akal (hifdzu al aql). Keempat, keselamatan keturunan dari kedua calon pasangan yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap keturunan (hifdzu al nasl). Kelima, kesiapan dari segi ekonomi yang berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap harta benda (hifdzu al mal).

Kesimpulan

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, paradigma tentang permohonan dispensasi nikah mengalami perubahan yang cukup signifikan dari segi norma yang telah diatur. Konsep tentang kepentingan terbaik bagi anak (best interest of child) secara bertahap menjadi paradigma utama dalam memutuskan dispensasi nikah. Hal ini tercermin dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin yang secara khusus menyematkan norma kepentingan terbaik bagi anak dalam Pasal 2. Oleh karena itu, dalam pembuktian terhadap alasan-alasan yang mendesak dalam dispensasi nikah, hakim dapat menggunakan perspektif kepentingan yang terbaik bagi anak guna melindungi hak-hak anak.

[1] Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Analis Perakara Peradilan (Calon Hakim) 2021 Pengadilan Agama Giri Menang

[2] Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022, hlm. 6.

[3] Vika Azkiya Dihni, Selama 2021, Angka Dispensasi Pernikahan Anak Menurun 7%, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/08/selama-2021-angka-dispensasi-pernikahan-anak-menurun-7, diakses 10 April 2022.

[4] Ibid.

[5] Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[6] Rosalinda Elsina Latumahina, Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak Dalam Perlindungan Hukum Anak Luar Kawin, tesis, Universitas Airlangga, 2019, hlm. 1.

[7] United Nations Human Rights Office of The High Commissioner, The Core International Human Rights Treaties, (New York: United Nations Publication, 2014), hlm. 121.

[8] Michael Freeman, A Commentary on The United Nations Convention on The Rights of The Child Article 3: The Best Interest of The Child, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007), hlm. 25.

[9] Lihat Pasal 7 ayat (3) UU No. 16 Tahun 109 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

[10] Telah dicantumkan dalam Pasal 14 UU Perma No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Lihat juga dalam Mahkamah Agung, Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, (Jakarta: Mahkamah Agung, IJRS dan AIPJ2, 2020), hlm. 33.

[11] Muji Hendra, wawancara, hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan, 21 April 2020, dalam Mansari, dkk, Konkretisasi Alasan Mendesak Dan Bukti Cukup Dalam Memberikan Dispensasi Perkawinan Bagi Anak Oleh Hakim, https://www.ms-blangpidie.go.id/148-uncategorised/artikel/720-konkretisasi-alasan-mendesak-dan-bukti-cukup-dalam-memberikan-dispensasi-perkawinan-bagi-anak-oleh-hakim. Diakses pada 10 April 2020.

[12] Duski Ibrahim, Al-Qawa`Id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), (Palembang: Amanah, 2019), hlm. 85.

[13] Tiara Dewi Prabawati dan Emmilia Rusdiana, Kajian Yuridis Mengenai Alasan Pengajuan Dispensasi Kawin Dikaitkan Dengan Asas-Asas Perlindungan Anak, Novum: Jurnal Hukum, Volume 6, 2016, hlm. 61.

[14] Ibid, Mansari.

[15] Wahbah Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islam, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr al Muasir, 1986), hlm. 757.

[16] Aroma Elmina Martha, Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Hukum Fak. Hukum UII, No. 8 Vol. 4-1997, hlm. 88.

English English Indonesian Indonesian