PERADILAN AGAMA SEBAGAI TONGGAK PELAKSANA HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

“PERADILAN AGAMA SEBAGAI TONGGAK PELAKSANA HUKUM KELUARGA DI INDONESIA”

Oleh : TITIEK FITRIANI 

 

  1. PENDAHULUAN SEKALIGUS LATAR BELAKANG PENULISAN

Pembaharuan Peradilan Agama baru dimulai sejak ditetapkan Undang-undang  Nomor 14 Tahun 1970, tetapi hal tersebut masih jauh dari yang diharapkan, terutama dari independensinya, mengingat Undang-undang  Nomor 14 Tahun 1970 masih menganut sistem dua atap (double roof sistem).  Hal ini disebabkan karena pembinaan terhadap lembaga peradilan ada dua badan yang bertindak selaku pembina, yaitu Mahkamah Agung secara teknis justicial, Departemen Kehakiman dan Departemen Agama yang melakukan pembinaan secara administratif, organisatoris, dan financial, seperti ditegaskan pada Pasal 11 ayat (1). Masuknya pihak eksekutif dalam kekuasaan kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab kekuasaan kehakiman di negeri ini tidak independen. Dengan demikian, sampai masa Orde Baru tetap saja Peradilan Agama dari segi status dan kedudukan belum bisa dikatakan peradilan yang independen, mandiri, dan kokoh.

Setelah dalam kurun waktu lama, akhirnya muncullah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang disahkan tanggal 29 Desember 1989. Setelah disahkan, Peradilan Agama memiliki undang-undang yang jauh lebih maju dari ketentuan undang-undang yang ada sebelumnya. Namun, dari aspek kedudukan dan status, Peradilan Agama belum bebas dari intervensi dari kekuatan politik di eksekutif, olehkarenanya dalam kaitannya dengan tulisan sebagai syarat ujian masuk strata dua ini penulis akan memperkuat bahwa Peradilan Agama adalah lembaga satu-satunya sebagai tonggak pelaksana hukum keluarga di Indonesia.[3]

Untuk lebih lengkapnya silahkan download disini

English English Indonesian Indonesian