Sidang Keliling dan Eksistensi Teori Maslahah
Imam Al-Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya syari’at itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Sebagai salah satu substansi dari al-maqashid al-syar’iyah, dari segi pengaruhnya dalam kehidupan manusia, Syatibi membagi maslahat menjadi tiga tingkatan:
- Daruriyat, yaitu maslahah yang bersifat primer, yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan manusia. Jika itu tidak ada, akan berdampak secara langsung pada aspek agama dan kehidupan duniawi dan akhirat. Terdapat lima maslahat yang termasuk dalam ketegori ini, yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga akal.
- Hajiyyat, yaitu maslahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan oleh manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan. Jika tidak ada, akan terjadi kesulitan dan kesempitan.
- Tahsiniyyat, yaitu maslahah yang merupakan tuntutan muru’ah (moral), yang bersifat tersier. Maslahat ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika tidak ada maka tidak akan sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia.
Maslahat dihadirkan oleh syara’ secara mutatis mutandis mempunyai fungsi untuk menghilangkan keburukan. Secara umum, konsepsi maslahat sebagai sebuah teori dapat dicapai melalui dua kaidah fikih (al-qaidah alfiqhiyyah):
- Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia (jalb al-manafi’). Manfaat ini dapat dirasakan secara langsung saat itu juga atau tidak langsung pada waktu yang akan datang.
- Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan (dar’ al-mafasid).
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah, dan Akta Kelahiran dari sisi al-maqashid al-syar’iyah dapat menjadi gambaran sebagai implementasi teori Maslahat dalam sistem Peradilan di Indonesia. Sidang Keliling menjadi salah satu inovasi yang telah memenuhi maslahat dari sisi hajiyyat, dimana pelayanan terpadu ini mempermudah masyarakat dan menghilangkan kesulitan untuk mendapatkan berbagai akses dalam pemenuhan dan jaminan terhadap hak-hak masyarakat secara luas.
Dalam teori maslahat ini, terdapat salah satu kaidah fikih yang dapat diterapkan, yakni
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
Artinya: Kebijakan Pemerintah terhadap rakyatnya didasarkan pada prinsip kemaslahatan.
Kebijakan terkait Sidang Keliling ini mempunyai dimensi yang cukup luas untuk memenuhi teori kemaslahatan. Karena realita yang terjadi di masyarakat, masih banyak para suami dan istri (pasutri) yang belum mempunyai buku nikah, namun sudah mempunyai anak. Permasalahan ini mempunyai dampak terhadap tidak terjaminnya hak-hak perdata dari suami istri tersebut, juga anak-anak mereka. Mereka akan menghadapi kesulitan dalam memperoleh akses kesehatan, jaminan sosial dan bahkan pendidikan anak-anak mereka akan terancam karena orang tua mereka tidak memilik identitas hukum yang jelas karena pernikahan dibawah tangan mereka. Dengan adanya Sidang Keliling, diharapkan eksistensi dari teori kemaslahatan dapat diwujudkan dengan adanya pemenuhan jaminan perlindungan hak-hak perdata para masyarakat yang bisa diakses secara lebih dekat dengan mereka. (arh)